Ad Code

Responsive Advertisement

Celoteh Untuk Dunia Pendidikan

Catatan ini terinspirasi dari sebuah percakapan yang terjadi disebuah film. Lebih kurang percakapannya berbunyi seperti ini.
A : menurut saya pendidikan itu tidak penting, ji
B : salah, pendidikan itu sangat penting, ji.
A : sampai kapanpun pendidikan itu g’ penting.
B : pendidikan itu penting, titik.
Teman – teman mungkin mengingat percakapan ini, benar sekali. Percakapan ini terjadi di film Alangkah Lucunya ( Negriku ini).
Nah, bagaiman sebenarnya peranan pendidikan itu sendiri bagi kelangsungan hidup peserta didik khususnya, dan bagi bangsa pada umumnya. Ada baiknya terlebih dahulu kita simak siklus pendidikan di Indonesia yang berjenjang banyak dan memakan waktu yang lama. Banyak maksudnya adalah dari TK sampai ke jenjang Universitas, lama karena memakan waktu hingga 17 tahun, catat INI WAKTU MINIMAL.
Ok. Sekarang kita simak kehidupan di setiap jenjang pendidikan, saat masuk hingga lulus.
  1. TK atau lebih dikenal dengan Taman Kanak – kanak. *seharusnya kan TKK
  2. SD atau nama lainnya Sekolah Dasar. Dasar untuk menjadi orang sukses, koruptor, ataupun hanya sebagai pengangguran.
  3. SLTP/SMP ini aja membingungkan, namanya aja beda tapi memiliki makna yang sama, yakni untuk lanjutan PERTAMA.
  4. SMU/SMA . Nah, ini juga aneh sekolahnya untuk Umum atau untuk kalangan Atas ?
  5. Universitas, ya ini dia akhir perjuangan peserta didik untuk menuntut ilmu formal.
Lantas setelah melewati semua itu, apakah ada hasilnya, kembali kita bahas per jenjang pendidikan.
Khusus untuk tinggat TK, secara otomatis semua murid yang masuk akan mampu melaksanakan pendidikan sampai lulus. Nah ketika melanjutkan ke jenjang SD, masalah mulai timbul. Apa itu masalahnya??????? (banyak kali tanda tanyanya). Selama 6 tahun belajar, tidak banyak murid yang berguguran di tengah jalan, atau kata populernya berhenti. Tidak perlu susah – susah dari kelas 1 saja sudah ada yang berhenti. Meskipun persentasenya tidak melebihi 5 % dari jumlah siswa yang terdaftar, setidaknya ini mengambarkan lemahnya minat belajar masyarakat. Itu baru yang berhenti, lantas bagaimana yang lulus? Dengan metode pengujian saat ini, masih memungkinkan untuk semua siswa lulus dari SD.
Dari seluruh siswa yang lulus dari SD sekitar 5 % dari mereka tidak akan melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya, yakni SLTP. Apa penyebabnya ? salah satu faktor utama tentu saja ekonomi, sehingga mereka lebih “memilih” bekerja di bandingkan sekolah. Salama tiga tahun di SLTP lebih kurang 5 % dari siswanya akan berhenti di tengah jalan (g’ takut ketabrak berhenti di tengah..hehhehe). Bahkan ketika tamat pun sekitar 3% siswa di seluruh Indonesia dinyatakan gagal lulus.
Lantas, bagaimana ketika melanjutkan langkah ke SLTA ? hal biasa pun terjadi. Tidak sedikit siswa usia SLTA yang  harus menahan hasratnya untuk mengenakan pakaian putih abu – abu. Faktor ekonomi kembali berperan, selain tentunya jumlah dan daya tampung SLTA yang tidak sebanding dengan jumlah siswa. Ok, masalah pendaftaran udah selese, sekarang kita bahas siswa yang “mengundurkan diri” dari seragam putih abu – abu ini. Sekitar 3 % dari jumlah pemakai seragam ini “menggundurkan diri”, kita patut bersyukur pada tahap ini kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan kembali stabil, namun faktor UTAMAnya pengguguran siswa ini kembali dilandasi EKONOMI, selain tentunya materi yang lebih berat (berat mana dari gajah ?). Akhirnya selama 12 tahun menggunakan seragam, siswa akan mencapai punjak kebebasan, namun, justru disini titik balik munculnya banyak remaja pengangguran tanpa ijazah SLTA. Bayangkan hampir 10 % siswa SLTA gagal lulus ujian akhir. Serta 15% persen yang gagal lulus tes masuk perguruan tinggi. Daya tampung universitas negri hanya 60 % dari jumlah tamatan siswa SLTA, universitas swasta hanya mampu menampung 20 %, sedangkan sekolah kesehatan hanya sanggup menampung 10 %, sehingga selebihnya menjadi pengangguran sambil berharap mendapat pekerjaan.
Dunia kampus, dunia penuh kreativitas dan kebebasan. Area penuh harapan dan impian. Maaf, dibagian ini saya tidak mampu member berapa persentase mahasiswa yang di DO, karena itu bukan tanggung jawab saya, melainkan tanggung jawab pihak rektorat. Saya hanya menyampaikan fakta bahwa lebih banyak mahasiswa yang menganggur setelah mendapatkan gelar SARJANA di akhir nama mereka. Ini bukan sekedar OMKOS, tapi realita, setiap penerimaan CPNS, di sesaki oleh para penyandang  gelar SARJANA, baik SARJANA……… (boleh di isi sesuka hati) atau apalah. Bahkan tidak sedikit yang melanjutkan pendidikan untuk mendapatkan gelar MAGISTER (knp g’ MAGICSTAR aja). Bukan itu saja, sebagian besar dari lulusan UNIVERSITAS justru meniti karir diluar jalur pendidikan mereka. Lantas, apa hasil dari jerih payah mereka bergelut dengan tumpukan buku, jika pada akhirnya aktivitas tersebut tidak mereka terapkan di karir yang mereka jalani.
Hasilnya dapat disimpulkan, sebelum belajar kita tidak mengetahui pendidikan itu penting atau tidak, namun setelah kita “bekerja” di gedung pendidikan, kita mengetahui bahwa pendidikan itu TIDAK PENTING.
PENDIDIKAN ITU TIDAK PENTING itulah hasil dari PENDIDIKAN

Ini bukan sebuah kritikan, sindiran, maupun istilah lainnya. ini hanya pandangan penulis terhadap dunia pendidikan yang ada di negara kita saat ini.

Post a Comment

0 Comments

Close Menu