BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai inovasi dan produktivitasnya
adalah tantangan serius hokum Islam yang selama ini berjalan secara stagnan,
rigid dan konvensional. Iptek tidak mungkin akan bergerak ke belakang dan pasti
bergerak ke depan untuk merekayasa peradaban manusia dengan kekayaan kreasi dan
progresivitasnya. Kalau sekedar mengandalkan al-turats al-islamiy dengan
paradigma konvensional, tentu banyak fenomena kontemporer yang jatuh pada masalah
mauquf (dipending) karena belum ada nash yang meresponnya. Kalau itu yang
terjadi, suara hokum Islam tidak akan didengar lagi gelombang modernisasi yang
sudah sangat maju. Dalam konteks ini, sudah saatnya umat Islam mengoptimalkan
seluruh daya pikirannya untuk dinamisasi, reaktualisasi dan refungsionalisasi
hokum Islam agar formulasi hokum Islam relevan dengan kondisi kekinian yang
selalu berubah setiap saat. Untuk merespon semua itu diperlukan ijtihad dari
orang-orang yang memiliki kapsitas keilmuan yang mumpuni dalam menanggapi
berbagai problematika kekinian (Misbahuddin,2014:129).
Usaha
untuk tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari belenggu
kekakuan dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya jalan yang harus
dilakukan secara maksimal. Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-nilai syariat
Islam tetap actual dan dapat dipertahankan dalam kehidupan
praktis(Shuhufi,2012:3).
Oleh
karena itu, di dalam makalah ini akn dibahas mengenai pengertian ijtihad, dasar
hukum ijtihad, kedudukan ijtihad, fungsi ijtihad, obyek ijtihad, macam-macam
ijtihad, serta syarat-syarat Mujtahid dan tingkatan-tingkatannya.
B. Rumusan Masalah
Adapaun
rumusan masalah pada makalah ini, yaitu :
1.
Bagaimana pengertian ijtihad?
2.
Bagaimana dasar hukum ijtihad?
3.
Bagaimana kedudukan dan fungsi ijtihad?
4.
Bagaimana objek ijtihad?
5.
Bagaimana macam-macam ijtihad?
6.
Bagaimana syarat-syarat mujtahid serta
tingkatannya?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2.
Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad.
3.
Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi
ijtihad.
4.
Untuk mengetahui obyek kajian ijtihad.
5.
Untuk mengetahui macam-macam ijtihad.
6.
Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid
dan tingkatannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Secara
etimologi ijtihad berasal dari akar kata ja ha da yang berarti kesulitan dan
kesusahan. Dari sudut ilm sharf kata ijtihad bentuknya mengikuti pola timbangan
ifti’al yang menunjukkan arti berlebih (mubalagah) dalam melaksanakn suatu perbuatan.
Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa berijtihad bukanlah kegiatan yang mudah
atau ringan, tetapi mengandung kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga
dan daya pikir yang maksimal.[1]
Dilihat
dari segi kebahasaan, kata ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan untuk
mewujudkan sesuatu. Maka, jika disederhanakan perumusannya, ijtihad bermakna
kerja keras dan bersungguh-sungguh, Dengan demikian, setiap pekerjaan yang
dilakukan dengan maksimal serta mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dinamakan
ijtihad dan pelakunya dinamai mujtahid(Shuhufi,2012:11-12).
Kemudian,
kata tersebut digunakan sebagai salah satu istilah dalam kajian ushul fiqh yang
bermakna “usaha maksimal ulama fiqh dalam melakukan kajian untuk memperoleh
ketentuan-ketentuan hukum yang bersfat zanni”. Dengan demikian, setiap
terungkap istilah ijtihad dalam pembahasan ilmu ushul fiqh, bermakna
usaha-usaha maksimal yang dilakukan para ulama fiqh untuk merumuskan
pemikiran-pemikiran fiqh, baik berupa hasil pemahaman terhadap teks lafal
Alqur’an dan Sunnah, maupun hasil analisa terhadap persoalan-persoalan actual
yang mereka hadapi. Namun, kekuatan hukum hasil ijtihad bersifat sanni, yakni
memiliki peluang benar dan salah, dengan dugaan terkuat pada benarnya bukan
pada salahnya(Shuhufi,2012:12).
Secara
terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan ijtihad sebagai pengerahan
daya upaya untuk sampai kepada hukum syara dari dalil yang terinci dengan
sumber dari dalil-dalil syara. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah mengartikannya
sebagai daya upaya ahli hukum Islam semaksimal mungkin dalam menginstinbatkan
hukum praktis dari dalil-dalinya yang terperinci. Muhammad Musa Tuwana juga
memberikan definisi ijtihad yang senada yakni dalam pengerahan segala upaya
ahli hukum Islam dalam menggali hukum-hukum syara yang berstatus cabang dari
dalil-dalilnya(Misbahuddin,2014:130).
Istilah
ijtihad itu tidak dapat dipisahkan dari istilah ra’yu (rasionalitas). Istilah
ra’yu dapat diartikan sebagai upaya pencarian dan perenungan terhadap
masalah-masalah tertentu berdasarkan Al-Qur’an dan hadis atau prinsip-prinsip
umum syariat Islam. Merenung dan mentadabburi sesuatu adalah pekerjaan rasio.
Karena itu, istilah ra’yu tidak bisa dipisahkan dari kata ‘aql. Al-Qur’an
sangat menganjurkan kepada umat Islam untuk memaksimalkan potensi akal. Dalam
kaitannya denga ijtihad dibidang fiqh, Imam al-Gazali menyatakan bahwa akal
manusia hanya dapat menetapkan hukum mengenail kasus-kasus tertentu yang secara
eksplisit tidak terdapat dalam wahyu. Pendapat ini mewakili pendapat Sunni pada
umumnya. Bagi kelompok ini, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat menentukan
dalam menetapkan hukum(Misbahuddin,2014:131).
Menurut
Misbahuddin(2014,131), dengan melakukan analisis dari beberapa definisi yang
dikemukakan tersebut dan membandingkannya dari berbagai sudut pandang, maka
dapat ditarik konklusi dari hakikat dan substansi dari ijtihad itu yaitu:
a. Ijtihad
adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.
b. Usaha
ijtihad dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.
c. Hasil
dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang
bersifat praksis.
d. Kreatifitas
ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.
B. Dasar Hukum Ijtihad
Menurut
Effendi (2005,246), banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad,
antara lain :
1. Q.S An-Nisa ayat 59 :
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an)
dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(Q.S: an-Nisa’/4:59)
Perintah mengembalikan sesuatu yang
diperbedakan kepada Al-Qur’an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah
peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk
kembali kepada Allah dan Rasul_nya dengan jalan ijtihad dalam membahas
kandungan ayat atau hadist yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad
dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya
dengan sesuatu yang disebutkan dalam al-Qur’an karena persamaan ‘illat-nya’
seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti
kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang
dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud
oleh ayat itu.
2. Hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin
Jabal. Ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan rasulullah dengan
apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan
Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan
ijtihad. Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan : “Segala pujian bagi
Allah yang telah memberi taufik atas diri utusa dari Rasulullah dengan apa yang
diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Arti hadis tersebut secara lengkap sebagai
berikut :
“Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok
orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Mu’az ke Yaman,
maka beliau bertanya kepada Mu’az, atas dasar apa Anda memutuskan suatu
persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya ; “kalau tidak
anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan dasar Sunnah Rasulullah
SAW. Beliau bertanya lagi : “kalau tidak Anda temukan adalam Sunnah
Rasulullah?’, Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi
berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan
Rasulullah SAW.” (HR.Tirmizi)
Menurut Syafe’i (2010,107-108), bagi
seseorang yang sudah memenuhi persayratan ijtihad, ada lima hukum yang bisa
dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijutihad, yaitu :
1.
Orang tersebut dihukum fardhu’ain untuk
berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan
hasil dari ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain, karena hukum
ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa
hal itu termasuk hukum Allah.
2.
Juga dihukumi fardhu’ain jika ditanyakan
tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera
dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut
atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
3.
Dihukumi fardu kifayah, jika
permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya,
atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai
seorang mujtahid.
4.
Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad
terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.
5.
Dihukumi haram apabila berijtihad
terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil
ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’.
C. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad
Masalah-masalah
yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat Zhanny,
yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik di dalam Al-qur’an maupun Hadis.
Adapun hal-hal yang bersifat Qat’iy, yakni hal-hal yang telah tegas dalilnya
seperti wajibnya Shala, Zakat, Puasa dan lain-lain tidak ada ijtihad
padanya(Djalil,2010 :186).
Bila dilihat dari segi akal, tidaklah dapat dikatakan
bahwa tiap-tiap hasil ijtihad itu benar. Menurut akal, yang benar hanya satu
yakni bila hasil ijtihadnya tepat. Apabila tidak tepat, berarti dosa, hal ini
ditentag oleh Al-Anbary dan Al-Jahiz. Menurut beliau, tiap-tiap mujtahid adalah
benar dan tidak ada dosa diatasnya(Djalil,2010 :186).
Menurut Djalil (2010:186), tentang
kedudukan hasl ijtihad dalam masalah
fiqh, terdapat dua golongan, yaitu :
a. Golongan I
Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid
adalah benar dengan alas an karena dalam masalah tersebut Allah tidak
menentukan hukum tertentu sebelum diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib
mengikuti hasil ijtihadnya mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam satu
masalah adalah karena berbedanya jangkauan mujtahid-mujtahid.
b. Golongan II
Berpendapat bahwa yang benar itu hanya
satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum Allah, sedang
bagi yang tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah. Golngan ini
beralasan bahwa Allah SWT telah meletakkan hukum tertentu pada satu masalah
sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat menjangkaunya, sedang
terkadang tidak. Demikian pendapat jumhur dan termasuk Asysyafi’I, berdalil
dengan hadis, yang artinya : “Siapa yang berijtihad dan ternyata benar, maka
mendapat dua pahala, dan (orang yang berijtihad) ternyata salah maka dapat satu
pahala”(H.R.Buchari dan Muslim).
Imam
Syafi’ira (150H-240H), penyusun pertama Ushul Fiqh dalam bukunya Ar-Risalah,
ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an menegaskan: “Maka tidak terjadi
suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah
terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung
oleh Al-Qur’an yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan
kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada
hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukm dari sumbernya itu.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketatan seseorang untuk melakukan
ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalm hal-hal yang
diwajibkan lainnya(Effendi,2005:249).
Pernyataan
Imam Syafi’I diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad
disamping AL-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji
kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti
hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak
tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan
ijtihad dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan mashalah
mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan
prinsip-prinsiphukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan
itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat
menjawab berbagai permasalahn yang tidak terbatas jumlahnya (Effendi, 2005: 250).
D. Objek Kajian Ijtihad
Para
ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau Hadis Rasulullah yang sudah tidak
diragukan lagi kepastiannya (qath’i) dating dari Allah atau Rasul-Nya, seperti
al-Qur’an dan Hadis Mutawatir (hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang
yang tidak mungkin berbohong), bukan lagi merupakan lapanga ijtihad dari segi
periwatannya. Al-Qur’an yang beredar dikalangan umat Islam sekarang ini adalah
pasti (gqth’i) keasliannya dating dari Allah dan begitu juga Hadis Mutawatir
adalah pasti (qth’i) datang dari Rasulullah. Kepastian itu dapat diketahui
karena baik al-Qur’an atau Hadis Mutawatir sampai kepada kita dengan riwayat
yang mutawatir yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan (Effendi, 2005:
250).
Selain
dapat digunakan dalam semua ajaran atau aspek Islam, menurut penulis, ijtihad
juga mempunyai obyek yang sangat luas. Objek ijtihad adalah setiap peristiwa,
baik yang sudah ada ketentuan nashnya yang bersifat zanni, maupun belum ada nashnya
sama sekali. Bagi peristiwa-peristiwa yang sudah ada ketentuan nashnya, cara
ijtihad adalah dengan jalan memahami nash dan meneliti apakah nash bersifat
khusus atau bersifat umum, dan kalau bersifat umum, apakah dibatas keumumannya
atau tidak. Bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, maka obyek ijtihad
ialah meneliti hukumnya dengan memakai qiyas atau istihsan atau pemakain ‘urf
atau dalil-dalil hukum lainnya (Shuhufi,2012:16).
Demikian
pula halnya para ulama Ushul Fiqh telah sepakat bahwa ijtihad tidak lagi
diperlukan pada ayat-ayat atau hadis yang menjelaskan hukum secara tegas dan
pasti (qath’i). Wahbah az-Zuhaili menegaskan tidak dibenarkan berijtihad pada
hukum-hukum yang sudah ada keterangannya secara tegas dan pasti dalam al-Qur’an
da Synnah. Misalnya kewajiban melakukan shalat lima waktu, kewajiban berpuasa,
zakat, haji, larangan berzina, membunuh dan kadar pembagian harta warisan yang
telah ditegaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah (Effendi, 2005: 250).
Menurut
Effendi (2005,250-251), hal-hal yang menjadi objek kajian ijtihad, seperti
dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti
(zhanni) baik dari segi datangnya dari Rasulullah, atau dari segi
pengertiannya, yang dapat dapat dikategorikan menjadi tiga macam :
1.
Hadis Ahad, yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh orang seorang atau beberapa orang yang tidak sampai ke
tingkat hadis mutawatir. Hadis ahad dari segi kepastian datangnya dari
Rasulullah hanya sampai ke tingkat dugaan kuat (zhanni) dalam arti tidak tertutup
kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit . Dalam hal ini seorang mujtahid
perlu melakukan ijtihad dengan cara meneliti kebenaran periwayatannya.
2.
Lafal-lafal atau redaksi al-Qur’an atau
hadis yang menunjukkan pengertiannya secara tidak tegas (zhanni), sehingga ada
kemungkinan pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi
lafal atau redaksi iyu. Ayat-ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya ini
menjadi objek ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi ijtihad disini adalah
untuk mengetahui makna sebenarnya yang dimaksud oleh suatu teks. Dalam hal ini
sering membawa kepada perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum.
3.
Masalah-masalah yang tidak ada teks atau
hadis dan tidak pula ada ijma’ yang menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad
memainkan peranannya yang amat penting dalam rangka mengembangkan
prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah. Fungsi ijtihad
disini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya lewat tujuan hukum, seperti
qiyas, istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istishab, dan sad al-zari’ah. Disini
terbuka kemungkinan luas untuk berbeda pendapat.
E. Macam-Macam Ijtihad
Menurut
Shiddieqy ( 1999,192-193), ijtihad ada beberapa macam, yaitu :
1.
Memberi segala daya kesanggupan untuk
sampai kepada hukum yang dikehendaki dari nash yang dhanni tusubutnya, atau
dhanni dalalahnya. Dalam hal ini, kita berijtihad dalam batas memahami nash dan
mentarjihkan sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad nash dan
jalannya sampai kepada kita.
2.
Memberi segala daya kesungguhan untuk
memperoleh sesuatu hukum yang tidak ada padanya nash qath’I, nash dhanni dan
tidak ada pula ijma’. Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu dengan berpegang
kepada tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’, seperti
qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut ijtihad bir ra’yi.
3.
Memberikan segala daya kesungguhan untuk
memperoleh hukum-hukum syara’ dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah..
Ijtihad ini berlaku dalam bidang yang mungkin diambil dari kaidah dan nash-nash
yang kulliyah, taka da padanya suatu nash tertentu, taka da pula ijma’ dan
tidak pula ditetapkan dengan qiyas atau istihsan. Hal ini sebenarnya kembali
kepada mendatangkan kemashlahatan dan menolak kemafsadatan, sesuai dengan
kaidah-kaidah syara’.
Dikalangan
ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam Syafi’I
menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama, tetapi maksudnya satu. Dia
tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau mashlahah mursalah.
Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang
ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas dan akal
(Syafe’i,2010:103-104).
Pemahaman
mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu
mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau
setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dsarnya
atau tidak(Syafe’i,2010:104).
Menurut
Syafe’i (2010:104), berdasarkan pendapat diatas, Dr. Dawalibi membagi ijtihad
menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam
kitab Al-Muwafaqat, yaitu :
1.
Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk
menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
2.
Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad
terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan
menggunakan metode qiyas.
3.
Ijtihad Al-Istishlah, yaitu ijtihad
terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah denga
menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
Menurut
Syafe’i (2010:104), pembagian diatas masih belum sepurna, seperti yang
diungkapka oleh Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alas an,
diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad dapat dibagi menjadi dua bagian
saja, yaitu:
1.
Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang
hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid
dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya,
menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan,dan
lain-lain.
2.
Ijtihad syar’i, yaitu ijtihad yang
didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, giyas,
istihsan, istishlah, ‘urf, istishab, dan lain-lain.
F. Syarat – Syarat Mujtahid dan Tingkatannya
1. Syarat-syarat Mujtahid
Menurut Effendi (2005,251), Wahbah az-Zuhaili
menyimpulkan ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid,
yaitu :
a. Mengerti
dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an baik
secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak perlu menghafal di luar kepala
dan tidak perlu menghafal seluruh al-Qur’an. Seorag mujtahid cukup mengetahui
tempat-tempat dimana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya
menemukan waktu yang dibutuhkan.
Menurut Imam
al-Ghazali, jumlah ayat-ayat hukum yang perlu dikuasai itu sekitar 500 ayat.
Pembatasan jumlah ayat-ayat hukum seperti dikemukakan al-Ghazali itu oleh
sebagian ulama tidak disepakati . Al-Syaukani (w.1255H) umpamanya menyebutkan
bahwa ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an bisa jadi berlipat ganda dari jumlah yang
disebutka al-Ghazali itu. Orang yang mendalam pemahamannya bahkan mungkin
meng-istinbatkan hukum dari ayat-ayat dalam bentuk kisah umat-umat terdahulu.
Pembatasan jumlah ayat yang dikemukakan al-Ghazali itu, demikian komentar
al-Syaukani, bisa dianggap benar bilamana yang dimaksud adalah ayat-ayat yang
dengan langsung menunjukkan hukum, dalam arti belum termasuk ke dalamnya
ayat-ayat yang tidak langsung.
Mengetahui makna ayat
secara bahasa, yaitu dengan mengetahui makna-makna mufrad (tunggal) dari suatu
lafal dan maknanya dalam susunan suatu redaksi. Pengetahuan seperti itu mungkin
didapatkannya karena bakat atau karena tumbuh dikalangan masyarakat yang
menguasai seluk-beluk bahasa Arab. Adapun pengetahuan tentang makna-makna ayat
secara syara’ ialah dengan mengetahui
berbagai segi penunjukan lafal terhadap hukum, seperti melalui mantuq (makna
tersurat), lewat mafhum muwafaqah (makna tersirat), atau mafhum mukhalafah
(makna kebalikan dari makna tersurat), serta mengetahui pembagian lafal dari
segi cakupannya, seperti lafal umum dan lafal khusus, dan mengerti pula dengan
tingkatan kejelasan dan ketidakjelasan dari penunjukan suatu lafal terhadap
maknanya. Disamping itu, juga mengetahui tentang ‘illat atau alasan logis
mengapa sesuatu diperintah dan mengapa sesuatu diperintah dan mengapa dilarang.
b. Mengetahui
tentag hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’,
seperti telah diuraikan pada syarat pertam. Seperti halnya al-Qur’an, maka
dalam masalah hadis juga tidak mesti dihafal seluruh hadis yag berhubungan
dengan hukum, tetapi cukup adanya pengetahuan dimana hadis-hadis hukum yang
dapat di jangkau bilamana diperlukan. Menurut sebagian ulama misalnya Ibnu
al-Arabi (w.543H), ahli tafsir dari kalangan
Malikiyah, seperti dinukil Wahbah az-Zuhaili, jumlah hadis-hadis
hukumsekitar 3000 hadis, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin Hanbal bahwa
hadis-hadis hukum sekitar 1200 hadis. Namun, Wahbah az-Zuhaili tidak sependapat
dengan dengan pembatasan jumlah hadis hukum itu. Menurutnya yang penting bagi
seorang mujtahid mengerti dengan seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat di
dalam kitab-kitab hadis besar yang sudah diakui, seperti Sahih al-Bukhari,
Sahih Muslim, dan lain-lain. Hadis-hadis hukum harus diketahui, disamping
pengertiannya secara bahasa dan secara syara’, juga mengetahui kesahihannya.
c. Mengethui tentang mana ayat atau
hadis yang telah dimansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau
Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang me-nasakh atau sebagai penggantinya.
Pengetahuan seperti ini diperlukan, agar seorang mujtahid tidak mengambil
kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah dinyatakan tidak lagi berlaku.
d. Mempunyai
pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya
dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang
mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para
ulama.
e. Mengetahui
tentang seluk-beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, tentang
‘illat hukum dan cara menemukan ‘illat itu dari ayat atau hadis, dan mengetahui
kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip umum
syariat Islam.
f. Menguasai
bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya. Pengetahuan ini
dibutuhkan, mengingat al-Qur’an dan Suunnah adalah berbahasa Arab. Seseorang
tidak akan bisa meng-istinbatkan hukum dari dua sumber tersebut tanpa
mengetahui seluk beluk bahasa Arab. Antara lain, misalnya, mengetahui mana
lafal umum dan mana lafal khusus, mana lafal hakikat dan mana lafal majaz, lafal
mutlaq dan muqayyad, dan berbagai cara penunjukan lafal terhadap maknanya.
Penguasaan bahasa Arab tidak perlu menjadi ahli, tetapi cukup sekadarmampu
memahami secara benar ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab dan kebiasaan orag
Arab dalam pemakaiannya.
g. Menguasai ilmu Ushul Fiqh, seperti
tentang hukum dan macam-macamnya, tentang sumber-sumber hukum atau
dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara mengistinbatkan hukum dari
sumber-sumber tersebut, dan tentang ijtihad. Pengetahuan tentang hal ini
diperlukan karena Ushul Fiqh merupakan pedoman yang harus dipegang dalam
melakukan ijtihad.
h.
Mampu menangkap tujuan syariat dalam
merumuskan suatu hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan karena untuk memahami suatu
redaksi dan dalam penerapannya kepada berbagai peristiwa, ketepatannya sangat
bergantung kepada pengetahuan tentang bidang ini. Hal ini disebabkan,
penunjukan suatu lafal kepada maknanya mengandung berbagai kemungkinan, dan
pengetahuan tentang maqasid al-Syari’ah memberi petunjuk untuk memilih
pengertiannya yang mana yang layak diangkat dan difatwakan. Di samping itu, dan
yang terpenting, denga penguasaan bidang ini prinsip-prinsip hukum dalam
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah dapat dikembangkan, seperti dengan qiyas,
istihsan, dan mashlahah mursalah.
2. Tingkatan – Tingkatan Mujtahid
Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada
zamannya) telah terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlaq itu sudah tidak
ada lad\gi dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid muqayyad”. Pernyataan
seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat para ulama.
Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antara mujtahid mutlaq,
mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib yang semuanya berbeda(Syafe’i,2010
:108).
Menurut Syafe’I (2010,108-109),
tingkatan mujtahid menurut para ulama, diantaranya menurut Imam Nawawi Ibnu
Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima tingkatan, yaitu :
a. Mujtahid
Mustaqi, adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia
buat sendiri, dia menyusun fiqihnya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang
ada. Menurut As-Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
b. Mujtahid
mutlaq ghairu mustaqil, adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid
mustaqi namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya , tetapi mengikuti
metode salah satu imam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai muthlaq muntasib,
tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan taqlid kepada imamnya melainkan
mengikuti jalan yang ditempuh imamnya. Diantaraya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar
dari Hanafiyah.
c. Mujtahid
muqayyad atau mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab
imamnya. Memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya
berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah
dipakai imamnya. Diantaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim
dan Asyhab dari golongan Maliki, serta Al-Buwaiti dan Majani dari golongan
Syafi’i.
d. Mujtahid
tarjih, adalah mujtahid yang belum
sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab
Majmu’, mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui
dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara
mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan
tingkatan mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah imamnya, ia
tergolong masih kurang. Diantaranya, Al-Qaduri dan pengarang kitab Al-Hidayah
dalam madzhab Hanafi.
e. Mujtahid
fatwa, adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab,
mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih
lemah dalam menetapka suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam
menetapkan qiyas. Menurut Imam Nawawi, “Tingkatan ini dalam fatwanya sangat
bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta
berbagai cabang yang ada dalam madzhab tersebut”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ijtihad
adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.Usaha ijtihad dilakukan oleh
orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.Hasil dari
kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang bersifat
praksis.Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.
2. Dasar
hukum ijtihad diantaranya, yaitu Q.S An-Nisa ayat 59 yag menjelaskan tentang
mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh
ayat tersebut yang dapat dikatakan sebagai ijtihad dan hadis yang diriwayatkan
dari Mu’az bin Jabal mengenai ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab
pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara
berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan
kemudian dengan melakukan ijtihad.
3. Pernyataan
Imam Syafi’I mengenai untuk menjawab hukum-hukum Al-Qur’an dapat digali dengan
ijtihad menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping AL-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat
hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau
sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya
dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah.
4. Macam-macam
Ijtihad, antara lain Ijtihad Al-Batani, Ijtihad Al-Qiyasi, Ijtihad
Al-Istishlah, Ijtihad al-aqli dan Ijtihad syar’i.
5. Syarat-syarat
Mujtahid, yaitu : (1)Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat
hukum dalam Al-Qur’an. (2)Mengetahui tentag hadis-hadis hukum baik secara
bahasa maupun dalam pemakaian syara’. (3)Mengetahui tentang mana ayat atau
hadis yang telah dimansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau
Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang me-nasakh atau sebagai penggantinya.
(4)Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’
tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya.(5) Mengetahui tentang
seluk-beluk qiyas. (6) Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang
berhubungan dengannya. (7) Menguasai ilmu Ushul Fiqh. (8) Mampu menangkap
tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum.
6. Tingkatan-tingkatan
Mujtahid, yaitu Mujtahid Mustaqi, Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, Mujtahid
muqayyad atau mujtahid takhrij, Mujtahid tarjih, Mujtahid fatwa.
[1]Dr.
Misbahuddin, S.Ag, M.Ag, Ushul Fiqh II, Alauddin University Press (Misbahuddin,2014:130). Ade Iwan Setiawan, Penghijauan
dengan Tanaman Potensial, Penebar Swadaya, Depok, 2002, hlm. 14.
0 Comments
Terimakasih telah mengunjungi Blog Nuzil.
Semoga informasi yang ada di blog ini bermanfaat.