09 September 2013, hari bersejarah bagi dia dan hari istimewa bagi diriku. Karena pada tanggal tersebut, dia melangsungkan wisuda sarjananya setelah menembuh pendidikan selama empat tahun. Sedangkan bagiku, hari itu adalah hari pertama dimana aku bisa bertemu dengan orang tuanya setelah menjalin hubungan selama hampir empat tahun. Aku dan dia memang menjalin hubungan sebagai kekasih sejak dia diawal-awal masa perkuliahan.
Perkenalkan nama aku Noel dan dia yang disebutkan sebagai pacara aku tersebut bernama Rizka. Sebagai pasangan kekasih, umur kami terpaut tidak terlalu jauh. Mungkin bisa dibilang rentang usia kami berdua termasuk ideal, yakni tiga tahun.
Sejak pertama kali menjalin hubungan sebagai kekasih, aku dan Rizka menjalani hubungan tidak berbeda dengan pasangan kekasih lainnya. Bahkan bisa dibilang kami termasuk golongan yang sering berantem dan sangat sulit untuk akur dalam waktu yang lama. Hampir setiap kali berkomunikasi (selalu) diselangi dengan cekcok meski hanya berlangsung singkat dan akur kembali pada akhirnya. Terkadang, kalau boleh jujur, kami berdua sering merasa iri melihat pasangan lainnya yang bisa adem ayem setiap bertemu, berkomunikasi, dan hal sejenis lainnya.
Empat tahun (lebih tepatnya tiga tahun sekian bulan) tentu bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah hubungan tak resmi seperti pacaran. Dan di usia yang masih dalam tahap menuju kematangan pemikiran, tentu sangat sulit untuk bisa mempertahankan status pacaran selama itu tanpa pernah berakhir apalagi mengingat kami sama-sama memiliki sifat keras kepala dan tidak mau mengalah. Kesamaan sifat ini mungkin yang membuat kami sering cekcok, tapi, tidak pernah berakhir dengan kesepatakan putus dari kedua belah pihak.
Kembali ke awal lagi, setelah pacaran selama empat tahun, bertemu dengan orang tua dari pacar tentu hal yang sangat ditunggu-tunggu, apalagi momennya bisa dibilang menjadi momen yang dinantikan oleh kebanyakan pasangan untuk mengenalkan pasangan mereka kepada keluarganya. Dan aku pun menantikan momen tersebut dengan perasaan campur aduk, antara senang, kembira, dan juga gugup plus takut. Wajar dong, toh ini pertemuan pertama dengan keluarga dia setelah berpacaran selama itu siapa juga yang gak merasa gugup.
Gak perlu dibahas lebih lanjut gimana keadaan dan kondisi saat dimana aku bertemu dan membaur bersama orang tuanya Rizka. Intinya, orang tua mereka menerima aku dan bisa mengendalikan situasi. Mengingat aku yang pada waktu itu terlihat gugup dan kebingungan, tapi mereka bisa mencairkan suasanya. Pokoknya, pertemuan pada hari itu gak meninggaklan penyesalan deh buat aku.
Kebahiagian aku dan Rizka yang terjadi pada hari itu ternyata adalah awal dari sebuah kenyataan yang menyedihkan. Karena satu bulan pasca acara wisuda tersebut, Rizka memutuskan untuk melanjutkan kehidupannya di Ibu Kota demi mendapatkan karir yang dia inginkan. Perpisahan tidak terelakkan, ditemani Ibunya Rizka, aku harus rela melepas kepergian Rizka di bandara. Meski perpisahan ini tidak menimbulkan tetesan air mata yang mengalir di pipi, tapi percayalah, jauh di dalam hati kami berdua sedihnya tidak bisa dicupkan dengan kata-kata. Mungkin karena kami segan dengan keberadaan Ibunya Rizka disana yang membuat tangisan kami bukannya jatuh di pipi tapi jatuh kedalam membasuhi hati.
Sebulan pertama pasca perpisahan itu, komunikasi antara aku dan Rizka masih lancar seperti biasanya. Efek dari LDR (Long Distance Relationship) baru kami rasakan setelah memasuki bulan kedua. Entah ada hubungannya atau tidak, komunikasi kami mulai berkurang seiring diterimanya Rizka menjadi karyawan disalah satu bank swasta di Jakarta. Memang aku akui, aku yang memang sering tidak menghubunginya terlebih dahulu. Itu aku lakukan mengingat sebagai karyawan baru tentu dia membutuhkan kondisi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kantornya dan tidak mungkin sebagai karyawan baru lebih sering menggunakan hape dibandingkan bekerja. Berdasarkan pertimbangan itulah, akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Rizka pada sore atau malam hari saja. Tapi ternyata, Rizka tidak menerima sikap yang aku ambil tersebut dan pada akhirnya pertengkaran pun tidak terelakkan. Dengan status LDR, sebuah pertengkaran tentu bisa berujung pada sebuah keputusan untuk mengakhir hubungan a.k.a putus.
Pasca pertengkaran tersebut, komunikasi kami semakin berkurang. Terkadang tiga hari sekali, bahkan pernah kami hanya berkomunikasi hanya satu kali dalam seminggu. Puncaknya terjadi saat Rizka mengatakan padaku bahwa ada teman sekantornya yang menyatakan perasaannya kepada dia. Sebagai seorang pria tentu aku tidak bisa menerima fakta tesebut. Tapi, dengan kesadaran seadanya aku berusaha untuk tetap tenang dan bertahan dengan kondisi seperti tersebut.
Setelah setiap kali berkomonikasi yang dibahas selalu mengenai teman sekantor dia tersebut, membuat aku yang awalnya hanya cuek, pada akhirnya bersuara. Bukannya aku tidak ingin mempertahankan hubungan yang telah kami jalin sejak lama itu, tapi aku merasa dia sepertinya nyaman dengan kondisi yang dia alami di kantor tersebut. Mau tidak mau, aku pun memutuskan menghakhiri hubungan itu. Mau gimana lagi, karena aku sadar, aku tidak bisa selalu ada disisinya saat dia membutuhkan. Aku tidak bisa melindunginya saat dia dalam bahanya. Dan aku pun tidak bisa melakukan apa-apa dengan jauhnya jarang yang memisahkan kami.
Sejak berakhirnya hubungan kami, aku dan Rizka bisa dibilang berkomunikasi seadanya saja. Ibarat kata, cuma sekadar say hay, tidak lebih dan tidak juga kurang.
Hingga pada suatu hari, aku mendapatkan kabar bahwa Rizka diterima sebagai Pegawai Negeri disalah satu lembaga kementrian. Sebagai seorang yang pernah lama dekat dengannya, aku pun ikut merasa bahagia dan mengucapkan selamat atas kelulusannya tersebut. Sejak aku dia diterimas sebagai PN itulah, aku perlahan-lahan mulai menghilang dari kehidupannya.
Bukannya aku tidak ingin ikut berbahagia dengan kondisinya sekarang, tapi aku sadar, aku yang sekarang ini belum layak untuk bersama dia. Bukan karena dia seorang PN dan aku hanya seorang pengagguran, bukan juga kerna orang tua dia membedakan kasta karena mereka memang tidak seperti itu, tidak sama sekali dan bukan itu penyebabnya. Tapi, aku memilih untuk menghilang dari kehidupannya agar dia bisa menemukan sosok yang mungkin jauh lebih baik dan layak bersanding dengan dia dibandingkan aku. Selama aku masih hadir di hidupnya, akan sulit untuk dia menemukan sosok yang pantas untuk dia.
Kepompong yang aku jaga dahulu telah menjadi kupu-kupu yang cantik, sekarang kupu-kupu itu terbang untuk menemukan bunga-bunga yang indah.
Belakangan aku mendapat kabar dari beberapa orang teman, bahwa dia telah mendapatkan seorang pengganti diriku. Aku tidak berkomentar apa-apa, karena yang bisa kulakukan sekarang ini adalah berdoa agar dia bisa menemukan seseorang yang bisa menjaga, melindungi, dan selalu ada disisinya setiap saat. Meskipun itu bukan aku, aku akan ikut bahagia untuk dia jika pada akhirnya dia menemukannya.
Perkenalkan nama aku Noel dan dia yang disebutkan sebagai pacara aku tersebut bernama Rizka. Sebagai pasangan kekasih, umur kami terpaut tidak terlalu jauh. Mungkin bisa dibilang rentang usia kami berdua termasuk ideal, yakni tiga tahun.
Sejak pertama kali menjalin hubungan sebagai kekasih, aku dan Rizka menjalani hubungan tidak berbeda dengan pasangan kekasih lainnya. Bahkan bisa dibilang kami termasuk golongan yang sering berantem dan sangat sulit untuk akur dalam waktu yang lama. Hampir setiap kali berkomunikasi (selalu) diselangi dengan cekcok meski hanya berlangsung singkat dan akur kembali pada akhirnya. Terkadang, kalau boleh jujur, kami berdua sering merasa iri melihat pasangan lainnya yang bisa adem ayem setiap bertemu, berkomunikasi, dan hal sejenis lainnya.
Empat tahun (lebih tepatnya tiga tahun sekian bulan) tentu bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah hubungan tak resmi seperti pacaran. Dan di usia yang masih dalam tahap menuju kematangan pemikiran, tentu sangat sulit untuk bisa mempertahankan status pacaran selama itu tanpa pernah berakhir apalagi mengingat kami sama-sama memiliki sifat keras kepala dan tidak mau mengalah. Kesamaan sifat ini mungkin yang membuat kami sering cekcok, tapi, tidak pernah berakhir dengan kesepatakan putus dari kedua belah pihak.
Kembali ke awal lagi, setelah pacaran selama empat tahun, bertemu dengan orang tua dari pacar tentu hal yang sangat ditunggu-tunggu, apalagi momennya bisa dibilang menjadi momen yang dinantikan oleh kebanyakan pasangan untuk mengenalkan pasangan mereka kepada keluarganya. Dan aku pun menantikan momen tersebut dengan perasaan campur aduk, antara senang, kembira, dan juga gugup plus takut. Wajar dong, toh ini pertemuan pertama dengan keluarga dia setelah berpacaran selama itu siapa juga yang gak merasa gugup.
Gak perlu dibahas lebih lanjut gimana keadaan dan kondisi saat dimana aku bertemu dan membaur bersama orang tuanya Rizka. Intinya, orang tua mereka menerima aku dan bisa mengendalikan situasi. Mengingat aku yang pada waktu itu terlihat gugup dan kebingungan, tapi mereka bisa mencairkan suasanya. Pokoknya, pertemuan pada hari itu gak meninggaklan penyesalan deh buat aku.
Kebahiagian aku dan Rizka yang terjadi pada hari itu ternyata adalah awal dari sebuah kenyataan yang menyedihkan. Karena satu bulan pasca acara wisuda tersebut, Rizka memutuskan untuk melanjutkan kehidupannya di Ibu Kota demi mendapatkan karir yang dia inginkan. Perpisahan tidak terelakkan, ditemani Ibunya Rizka, aku harus rela melepas kepergian Rizka di bandara. Meski perpisahan ini tidak menimbulkan tetesan air mata yang mengalir di pipi, tapi percayalah, jauh di dalam hati kami berdua sedihnya tidak bisa dicupkan dengan kata-kata. Mungkin karena kami segan dengan keberadaan Ibunya Rizka disana yang membuat tangisan kami bukannya jatuh di pipi tapi jatuh kedalam membasuhi hati.
Sebulan pertama pasca perpisahan itu, komunikasi antara aku dan Rizka masih lancar seperti biasanya. Efek dari LDR (Long Distance Relationship) baru kami rasakan setelah memasuki bulan kedua. Entah ada hubungannya atau tidak, komunikasi kami mulai berkurang seiring diterimanya Rizka menjadi karyawan disalah satu bank swasta di Jakarta. Memang aku akui, aku yang memang sering tidak menghubunginya terlebih dahulu. Itu aku lakukan mengingat sebagai karyawan baru tentu dia membutuhkan kondisi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kantornya dan tidak mungkin sebagai karyawan baru lebih sering menggunakan hape dibandingkan bekerja. Berdasarkan pertimbangan itulah, akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Rizka pada sore atau malam hari saja. Tapi ternyata, Rizka tidak menerima sikap yang aku ambil tersebut dan pada akhirnya pertengkaran pun tidak terelakkan. Dengan status LDR, sebuah pertengkaran tentu bisa berujung pada sebuah keputusan untuk mengakhir hubungan a.k.a putus.
Pasca pertengkaran tersebut, komunikasi kami semakin berkurang. Terkadang tiga hari sekali, bahkan pernah kami hanya berkomunikasi hanya satu kali dalam seminggu. Puncaknya terjadi saat Rizka mengatakan padaku bahwa ada teman sekantornya yang menyatakan perasaannya kepada dia. Sebagai seorang pria tentu aku tidak bisa menerima fakta tesebut. Tapi, dengan kesadaran seadanya aku berusaha untuk tetap tenang dan bertahan dengan kondisi seperti tersebut.
Setelah setiap kali berkomonikasi yang dibahas selalu mengenai teman sekantor dia tersebut, membuat aku yang awalnya hanya cuek, pada akhirnya bersuara. Bukannya aku tidak ingin mempertahankan hubungan yang telah kami jalin sejak lama itu, tapi aku merasa dia sepertinya nyaman dengan kondisi yang dia alami di kantor tersebut. Mau tidak mau, aku pun memutuskan menghakhiri hubungan itu. Mau gimana lagi, karena aku sadar, aku tidak bisa selalu ada disisinya saat dia membutuhkan. Aku tidak bisa melindunginya saat dia dalam bahanya. Dan aku pun tidak bisa melakukan apa-apa dengan jauhnya jarang yang memisahkan kami.
Sejak berakhirnya hubungan kami, aku dan Rizka bisa dibilang berkomunikasi seadanya saja. Ibarat kata, cuma sekadar say hay, tidak lebih dan tidak juga kurang.
Hingga pada suatu hari, aku mendapatkan kabar bahwa Rizka diterima sebagai Pegawai Negeri disalah satu lembaga kementrian. Sebagai seorang yang pernah lama dekat dengannya, aku pun ikut merasa bahagia dan mengucapkan selamat atas kelulusannya tersebut. Sejak aku dia diterimas sebagai PN itulah, aku perlahan-lahan mulai menghilang dari kehidupannya.
Bukannya aku tidak ingin ikut berbahagia dengan kondisinya sekarang, tapi aku sadar, aku yang sekarang ini belum layak untuk bersama dia. Bukan karena dia seorang PN dan aku hanya seorang pengagguran, bukan juga kerna orang tua dia membedakan kasta karena mereka memang tidak seperti itu, tidak sama sekali dan bukan itu penyebabnya. Tapi, aku memilih untuk menghilang dari kehidupannya agar dia bisa menemukan sosok yang mungkin jauh lebih baik dan layak bersanding dengan dia dibandingkan aku. Selama aku masih hadir di hidupnya, akan sulit untuk dia menemukan sosok yang pantas untuk dia.
Kepompong yang aku jaga dahulu telah menjadi kupu-kupu yang cantik, sekarang kupu-kupu itu terbang untuk menemukan bunga-bunga yang indah.
Belakangan aku mendapat kabar dari beberapa orang teman, bahwa dia telah mendapatkan seorang pengganti diriku. Aku tidak berkomentar apa-apa, karena yang bisa kulakukan sekarang ini adalah berdoa agar dia bisa menemukan seseorang yang bisa menjaga, melindungi, dan selalu ada disisinya setiap saat. Meskipun itu bukan aku, aku akan ikut bahagia untuk dia jika pada akhirnya dia menemukannya.
0 Comments
Terimakasih telah mengunjungi Blog Nuzil.
Semoga informasi yang ada di blog ini bermanfaat.