Ad Code

Responsive Advertisement

Libero, Ini Pilihan ku

volleyball libero
Volley Ball memang sangat identik dengan olahraga ketinggian. Olahraga dimana seseorang dengan postur tubuh yang tinggi akan sangat mudah untuk menjadi pemenang. Apakah memang sesimpel itu kesimpulan untuk olahraga tim ini ? Semakin tinggi postur yang dimiliki oleh pemain maka peluang dia untuk memenangi pertarungan di udara pun akan semakin besar. Tapi sayang, kesederhanaan kesimpulan untuk bola voli itu tidaklah berlaku umum. Hanya pendapat segelintiran orang yang tidak memandang bola voli itu dari semua sisi.
Untuk menilai permainan bola voli ini, saya akan membawa kalian kembali ke dasar permainan. Dasar dari olahraga ini adalah passing, sehebat apapun kalian melakukan smash (pukulan/spike) jika lemah dari passing, maka kalian tidak akan pernah dicap sebagai seorang pemain yang hebat. Meski memang di beberapa tempat / daerah kehebatan seorang pemain dinilai dari seberapa kuat dia bisa melakukan smash. Tapi, sekuat apapun smash yang dilakukan jika berhadapan dengan seseorang yang sangat hebat dalam melakukan passing (dan dikombinasikan dengan penempatan posisi yang baik) maka hal itu kan menjadi sia-sia. Tidak akan menghasilkan poin, ingat, tujuan utama dari permainan ini adalah untuk mencari poin.
Dari pemahaman tersebut lah maka pada akhirnya aku memutuskan untuk menjadi seseorang yang ahli dalam melakukan pasing. Ya, menjadi libero adalah pilihan ku. Bukan karena postur tubuh yang membuatku memilih posisi ini. Karena banyak yang beranggapan bahwa libero itu merupakan posisi untuk pemain dengan postur tubuh pas-pasan untuk ukuran volley ball. Dengan postur 178cm, tentu aku layak untuk bersaing di posisi spiker. Apakah smash aku tidak begitu powerfull sehingga aku memilih posisi lain? atau mungkin akan ada yang mengatakan bahwa pilihan ku ini sebuah kemubaziran jika melihat postur tubuh yang aku miliki.
Aku tidak akan pernah peduli dengan apa yang orang lain katakan tentang pilihanku ini, menjadi libero merupakan keinginanku melebihi apapun. Untuk masalah postur tubuh, aku teringat sebuah ucapan dalam anime Haikyu,
Aku menjadi libero bukan karena aku pendek, meskipun tinggiku dua meter, aku akan tetap menjadi seorang libero.
Nishinoya, Libero Karasuno
Ketika memutuskan untuk menjadi seorang libero, berarti aku sudah siap untuk tidak menjadi pusat perhatian. Semua mata tentu akan selalu tertuju kepada para spiker dengan dentuman smash keras mereka. Akan selalu ada sorakan untuk setiap smash yang memberikan poin, dan aku tidak pernah berharap akan mendapatkan kondisi yang sama ketika berhasil menahan sebuah smash. Bukan, bukan tepuk tangan dari penonton yang aku tunggu, tapi sebuah kepuasan pribadi yang aku rasakan ketika berhasil menggagalkan peluang lawan untuk mendapatkan poin. Dan itu adalah alasan utama ketika aku memilih libero sebagai posisi ku.
Tugas utama dari seorang libero sudah jelas mengamankan daerah pertahanan dari serangan lawan dengan cara apapun. Semua anggota tubuh yang diizinkan untuk digunakan dalam permainan harus dikerahkan untuk menjalankan tugas tersebut. Akupun sadar dan siap untuk memikul tugas serta tanggung jawab tersebut. Secara sederhana, aku telah memantapkan prinsip, yakni :
Meski tubuh ini hancur, tidak akan ku biarkan bola menyentuh lantai.
Aquilla, Libero Pidung
Meski pada akhirnya libero menjadi pilihan, aku masih memiliki banyak kekurangan. Terlebih lagi, dibandingkan dengan semua anggota tim, dari segi pengalaman di bola voli, aku sangat jauh tertinggal dari mereka semua. Hingga saat ini aku bahkan belum pernah terjun dalam pertandingan resmi. Meski di beberapa pertandingan rekan satu tim mengajak ku untuk turun bertanding, tapi aku masih menolaknya. Bukannya aku sombong karena melakukan penolakan, tapi aku sadar dengan posisi yang aku bawa. Kehadiran sosok libero itu sangat krusial di tengah pertandingan, mengingat pengalaman serta jam terbang yang aku miliki tentu aku belum siap. Ditambah lagi dengan kemampuan, pemahaman, dan penempatan posisi yang aku rasa masih belum cukup untuk turun di sebuah pertandingan resmi.
Kembali lagi ke awal mula ketertarikan ku untuk menjadi seorang libero. Semuanya terjadi dengan begitu sederhana, bahkan jauh lebih sederhana dibandingkan ketika jatuh cinta terhadap seorang wanita. Sederhananya, awal mula ketertarikan ku untuk menjadi libero terjadi sesaat setelah aku menyaksikan cuplikan kompilasi video libero terbaik dunia, Jenia Grebennikov, di youtube. Semuanya terjadi secara spontan, begitu videonya berakhir, hasrat untuk menjadi seorang libero langsung muncul dari dalam diriku. Entah mengapa tapi itulah yang terjadi.
Melihat aksi Grabennikov di video tersebut membuat bulu kuduk ku berdiri, merinding rasanya badan ini melihat setiap aksi yang dia tunjukkan. Dari dalam diri, aku bertanya, bisakah aku melebihi kemampuan yang dia miliki ? terlalu tinggi anganku? mungkin. Atau setidaknya mampukah aku memiliki level kemampuan yang sama dengan dia ? Mengingat usiaku pada saat ini, mustahil rasanya aku bisa mengatakan iya dengan impian ku itu. Hingga aku tersadar, jika tidak bisa menyamai ataupun melebihi, setidaknya aku masih memiliki jalan untuk mendekati kemampuan dia. Sebuah keinginan yang masih tetap tersimpan di dalam diri hingga saat ini.
Terlambat
Meski ada pribahasa yang mengatakan bahwa tidak ada kata terlambat untuk belajar. Tapi dalam dunia olahraga, usia adalah salah satu faktor pendukung kesuksesan dan usia jugalah yang membatasi kemampuan seorang pemain. Aku pun menyadari bahwa masa edarku di dunia voli ini tidaklah lama lagi. Hanya dalam hitungan tahun aku bisa menunjukkan kemampuanku di dunia pervolian. Tapi, meskipun sebentar aku tetap berambisi meninggalkan sebuah kenangan yang manis.

Post a Comment

0 Comments

Close Menu