Ad Code

Responsive Advertisement

Rehabilitasi Pecandu Narkoba

badan narkotika nasional / BNNBalai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) di Jalan Mayjen HR. Edi Sukma km 21 Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Lido, Jawa Barat, menjadi pusat rujukan nasional untuk merehabilitasi penyalahguna atau pecandu narkoba.
Dalam merehabilitasi pecandu atau pengguna, Balai Besar Rehabilitasi yang telah berdiri sejak 2007 ini tidak memakai obat-obatan sejenis narkoba atau drug. Kepala Balai Besar Rehabilitasi BNN, Yunis Farida Oktoris mengatakan terapi penyembuhan atau pemulihan dengan terapi simptomatik.
Terapi simptomatik, kata Yunis, mengobati penyakit yang timbul dalam diri pecandu pada saat putus zat atau detoksifikasi selama dua minggu. "Penyakit itu yang kami sembuhkan, kami lihat apa reaksinya. Itu masuk dalam rehabilitasi medis selama satu bulan," kata Yunis yang telah tiga tahun menjadi kepala Balai Besar Rehabilitasi BNN, kepada Tempo.
Menurut Yunis, beberapa penyakit yang timbul pada diri pecandu pasca putus zat yakni, kegelisahan, diare, hingga melukai diri sendiri atau orang lain. "Semua itu sudah pernah terjadi di sini, sampai pernah ada yang mengamuk sampai mau melukai dirinya sendiri dan orang di sekitarnya. Kalau sudah seperti ini kami pindahkan ke ruang kritis, sampai dia benar-benar tenang dan kami berikan obat penenang," ujarnya yang sudah terjun dalam rehabilitasi pecandu dan penyalahguna dari 1994. "Tapi kalau hanya gelisah, diare atau penyakit lainnya kami berikan obat. Ini yang kami sembuhkan, tanpa menggunakan drugs."
Lulusan S2 Fakultas Ilmu Soisial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini, mengaku pasca putus zat seorang pecandu dibutuhkan kesabaran dalam menghadapinya. "Harus sabar, berikan dia motivasi, disupport. Dan keluarga tidak boleh meninggalkannya, dalam artian sama sekali tidak menengok dia (pecandu) selama direhab. Keluarga itu berperan penting," ujarnya. Menurut Yunis, selama tidak ada yang mempengaruhi pencandu maka proses rehabilitasi medis dari detok hingga pasca putus zat akan berjalan lancar. "Tapi kalau dia sudah diberitahu yang negatif, akan ketakutan dan kabur. Dulu pernah ada yang baru dipakaikan baju warna orange, langsung dirobek dan lari. Karena apa, ada yang mempengaruhinya dari yang sudah mau direhab karena dipengaruhi jadi tidak mau," ujar Yunis.
Setelah rehabilitasi medis selama satu bulan, dilakukan rehabilitasi sosial. Alasannya, kata Yunis, penyalahguna atau pecandu pasti memiliki penyimpangan perilaku karena efek dari narkoba. "Perilaku ini kami pulihkan dari negatif menjadi positif, dengan metode terapeutic community, dari dia untuk dia oleh dia. Ini selama empat bulan, ada bimbingan kerohanian dan mental juga di dalamnya," ujarnya. Selanjutnya diberikan program lanjutan terapeutic community yakni terapi vokasional dan resosialisasi, selama 1 bulan terakhir. "Jadi mereka direhab di sini selama 6 bulan, dirawat inap, kami tidak mengenal istilah rawat jalan," ujarnya.
Selama 6 bulan itu pula, kata Yunis, tidak setiap hari pecandu dapat dijenguk oleh keluarga atau orang lain. "Tidak seperti di LP, di sini yang boleh bertemu hanya penanggungjawab yang ditulis pada saat awal mendaftar. Misalnya Raffi Ahmad waktu itu, hanya ibunya saja," ujarnya. Namun, selama detoksifikasi, pecandu atau penyalahguna tidak diperkenankan membesuk atau bertemu keluarga. "Ada jadwal yang telah kami tentukan sendiri, yakni memasuki rehab sosial dan di bulan terakhir rehab, itu kami fasilitasi namanya dialog family dan visit keluarga."
Saat ini (hingga September 2013) tercatat ada 366 pecandu atau disebut residen, menjalani rehabilitasi di Balai besar Rehabilitasi BNN. Pecandu itu terdiri dari 348 laki-laki dan 18 perempuan yang sedang. Data sebelumya masih di tahun 2013 hingga Juni 2013, tercatat ada 371 residen yang telah direhab, terdiri dari 350 laki-laki dan 21 perempuan.
"Di sini kami menyebutnya residen. Ada dua jenis residen, yakni residen yang datang dari kesadaran diri sendiri dan residen dari putusan hakim, jaksa atau penyidik," kata Yunis. Namun, rata-rata setiap tahunya ada sebanyak 80 persen residen yang direhabilitasi karena kesadaran dirinya. "Sisanya (20 persen) dari penyidik dan putusan pengadilan. Ada rehabilitasi khusus sekitar 3 bulan yang biasa dipakai penyidik atau institusi yang pegawainya direhab," ujarnya.
Rabu 25 September 2013, balai besar ini memiliki luas 11,2 hektar dengan pemandangan pedesaan dan udara yang sejuk. Di depan gedung olahraga tampak ratusan residen memakai baju biru sedang melakukan olahraga, rabu pagi itu. "Baju orange hanya untuk residen yang baru datang, setelah itu bajunya biru," ujar Yunis.
Setelah berolahraga, ratusan residen ini memasuki asramanya yang terletak di sebelah gedung olahraga. Bangunan tiga lantai itu dilengkapi dengan besi tebal berbentuk vertikal memadati luar kaca jendela. "Biar tidak ada yang kabur atau loncat," kata Eri Wibisono, pendamping residen yang juga mantan pecandu narkoba.
narkotika atau narkoba
Di gedung asrama ini juga dilengkapi dengan fasilitas ruang medis, fitnes, internet, perpustakaan, sauna, ruang musik lengkap dengan alatnya, arena permainan tenis meja dan billiar. "Mereka bisa memakai semua fasilitas ini dari pukul 16.00 hingga 17.30. Setiap hari," ujar Eri.
Setelah berolahraga dan sarapan, residen itu melakukan kerja bakti dengan membersihkan asramanya yang berlantai tiga itu. "Karena di sini tidak ada OB, jadi mereka sendiri yang membersihkannya," ujarnya. Di setiap lantai asrama itu juga dilengkapi dengan ruang ibadah untuk umat muslim dan non muslim. "Ada ruang kebaktian untuk nasrani, dan vihara. Mereka juga diberikan ruang untuk merokok, karena di dalam tidak boleh merokok," ujar Eri.

Post a Comment

0 Comments

Close Menu